Mencari Hakikat Penciptaan

Sebagai manusia dan tentunya sebagai seorang theist. Saya selalu selalu mencari jawaban tentang tujuan penciptaan, juga tentang hubungan antara Sang Pencipta dan Ciptaan-Nya. Apakah Tuhan hanya hanya dipandang sebagai dzat yang transendent-yang terpisah dari makhluknya atau Tuhan selalu menampakan bayangan-Nya dibalik ciptaan-Nya.

Dalam sebuah hadist Qudsi yang kira-kira redaksinya seperti ini: Tuhan berkata bahwa Dia adalah perbendaharaan yang tersembunyi, yang rindu untuk di kenal maka Dia menciptakan makhluk. Begitupun firmannya dalam kitab suci: Aku lebih dekat daripada urat nadi kalian sendiri.

Bukankah Tuhan tidak butuh makhluknya? Terus buat apa Dia mencipta? Apalah artinya kedermawanan tanpa si miskin kata Rumi sang sufi penyair itu. Mungkin begitupun dengan Tuhan, dia dengan ‘kesadaran’ memahmi bahwa sifat-sifat agung-Nya hanya akan bisa termanifestasi jika ada object penerima. Maka, menciptalah Dia.

Jika membahas keberadaan dzat-Nya, esensi diri-Nya. Tentulah nalar kemanusiaan kita tak sanggup sampai kesana. Dzatnya adalah mutlak, gaib di atas gaib, misteri di atas misteri. Dengan Kasih Sayang-Nya, kemudian Dia sendirilah yang akhirnya memperkenalkan diri lewat sifat-sifatNya (kita menyebutnya sebagai Ilahi atau Allah) atau dengan perbuatanNya (kita menyebut-Nya Tuhan atau Rabb).

Beberapa orang menemukan Dia lewat fenomena ciptaan-Nya, lewat hukum-hukum alam yang dibuat-Nya begitu kompleks, rumit tapi berpola.

Beberapa lagi ketika dalam keadaan fana, menemukan bahwa hanya Dia lah sebenarnya yang tampak dan yang lain hanyalah memantulkan bayangan-Nya. Sehingga ketika kembali dari fana, bagi mereka, realitas yang tampak hanyalah semu belaka. Ada juga golongan yang berpendapat bahwa memang benar bahwa ciptaan-Nya memantulkan bayangan diri-Nya tapi mengingkari keberadaan object pemantul itu sendiri adalah kesalahan. Bagi golongan ini Dia dan ciptaan-Nya saling memantulkan.

Kalau ibarat cahaya, Dia memancarkan sinarnya keseluruh semesta dan seluruh ciptaanNya meneriman cahaya tersebut sesuai dengan jarak kepada-Nya. Semakin dekat semakin terang, semakin jauh semakin gelap. Tak ada gelap, yang ada hanya tak sempurnanya kehadiran-Nya.

Tugas kita sebagai manusia, makhluk yang paling sempurna memantulkan dan menyerap seluruh sifat-sifatNya adalah berakhlak dengan akhlak-Nya. Kata Ibnu Arabi bukan posisi manusia untuk menanamkan sifat-sifat Tuhan itu kedalam dirinya, karena sebenarnya dalam dirinya sudah ada potensi sifat-sifat Tuhan ketika Tuhan meniupkan ruh kepadanya.

Diterbitkan di Life

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s